Tulisan berikut saya tulis bertepatan dengan Hari Pengentasan kemiskinan sedunia, tapi berhubung tidak mendapatkan space di media publik resmi (baca : koran) So, I prefer to share in this blog. Check it out! :-)
“Hidup
Miskin” , jika statment itu merupakan
suatu opsi pada sebuah kuisioner yang dilontarkan kepada seseorang, apakah ia
ingin hidup dalam kemiskinan atau kecukupan? pastinya tidak ada orang yang
ingin hidup dalam kemiskinan. Namun lain halnya ketika kita melihat kondisi
realitas kehidupan, maka hidup dalam kemiskinan bukanlah suatu opsi pilihan kuisioner
kepada masyarakat melainkan sebuah kenyataan hidup tanpa bisa ditawar lagi yang dialami sebagian masyarakat kita di
Dunia. Penderitaan, serba kekurangan, ancaman, kelaparan, dan ketidaklayakan
hidup terangkum menjadi serentetan kondisi yang dialami oleh masyarakat miskin.
Kemiskinan selalu menjadi topik terhangat dan diperbincangkan para elite politik di pemerintahan. Bahkan
masalah kemiskinan tak terlepas pada poin yang tertera dalam visi misi para
calon penjabat. Mengingat 17 oktober ini, Dunia memperingati tanggal tersebut
sebagai Moment “The International Day for the Eradication
of Poverty” dan telah
diresmikan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sejak tahun 1992. Peringatan akan
pengentasan kemiskinan ini pertama kali dilakukan di Paris, Prancis pada tahun
1987 ketika 100.000 orang berkumpul di Human Rights and Liberties Plaza di
Trocadéro untuk menghormati korban kelaparan, kemiskinan, kekerasan, dan
ancaman.
Menurut Bank Dunia, penurunan
kemiskinan di Indonesia terus melambat, namun tingkat penurunannya hanya 0.7
persen untuk tahun 2012-2013 dan ini merupakan angka penurunan terkecil dalam satu dekade
terakhir. Kemiskinan yang terjadi saat ini telah merebak hampir
ke seluruh dimensi, dan pengentasan kemiskinan kini tak hanya soal keuangan
atau moneter saja, melainkan meliputi kemiskinan di segi pendidikan, sosial,
politik , dan kesehatan. Ada 68 juta
masyarakat Indonesia yang hidup mendekati batas kemiskinan sebesar Rp. 11.000,-
dan ada sekitar 28 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Meskipun
Indonesia tercatat menjadi bagian dari 20 besar ekonomi dunia, seperempat
masyarakatnya masih sangat rentan kembali jatuh miskin. Hal ini dikarenakan
mereka berpenghasilan hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga
miskin serta mereka mengalami guncangan ekonomi seperti jatuh sakit, musibah
bencana (gagal panen, banjir, kemarau panjang dan sebagainya) atau kehilangan
pekerjaan, dengan mudah dapat membuat mereka kembali jatuh miskin.
Dari
data 2010, separuh dari mereka yang miskin bukan termasuk orang miskin sebelumnya,
11,4 % warga miskin dan sebesar 27,4 % masyarakat yang rentan jatuh miskin ini
diperkirakan sebesar 10 % berpeluang jatuh miskin di tahun berikutnya.
Seperempat populasi Indonesia jatuh miskin setidaknya sekali dalam tiga tahun.
Situasi menjadi lebih sulit ketika keluarga miskin hanya mampu mengeluarkan biaya sangat
sedikit untuk kesehatan dan pendidikan – rata-rata hanya 5%. Dan pada akhirnya,
anak-anak yang dihasilkan pun tidak memperoleh pendidikan yang layak dan kesehatan
yang baik sehingga terancam mewarisi kembali kemiskinan yang sama ke generasi selanjutnya.
Belum selesai dengan
permasalahan bagaimana mempercepat laju penurunan kemiskinan, bertambah juga
masalah ketimpangan yang terjadi di Indonesia pun meningkat. Meningkatnya ketimpangan membuat penderitaan mereka yang miskin semakin
terpuruk dan lebih sulit lagi untuk
keluar dari kemiskinan. Koefisien Gini,
yang mengukur ketimpangan konsumsi, naik dari 0,30 pada tahun 2000, menjadi
sekitar 0,41 pada tahun 2013.
Kesenjangan antar daerah tetap ada. Indonesia Timur tertinggal dari
wilayah lain di negara ini, terutama Jawa. Akibatnya, meski upaya mengurangi
kemiskinan mengalami kemajuan, Indonesia menjadi salah satu negara dengan
peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan Asia Timur .
Moment peringatan “The International Day for the Eradication
of Poverty” menjadi alarm keras yang me-reminder
bangsa kita bahwa agenda besar pengentasan kemiskinan di Indonesia
menghadapi tantangan yang lebih kompleks, karena tidak hanya kemiskinan
multidimensi namun juga ketimpangan. Pemerintah kita perlu mengencangkan ikat pinggang dan melakukan implementasi
kebijakan – kebijakan publik yang efektif dan tepat sasaran. Dengan melakukan
implementasi kebijakan-kebijakan publik yang efektif, dan menjalin kemitraan sektor swasta dan organisasi
masyarakat sipil, seperti dijelaskan pula oleh Rodrigo A. Chaves, Kepala
Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, maka bukan hal yang mustahil Indonesia
akan membuat kemajuan yang substansial. Menurut Bank Dunia, ada beberapa solusi
untuk mengentaskan kemiskinan, pertama dengan meningkatkan akses kesehatan dan
subsidi biaya kesehatan untuk keluarga miskin, menciptakan lapangan kerja yang
luas untuk menarik SDM dari kalangan keluarga miskin, dan investasi pada jaring
pengaman sosial untuk warga yang rentan jatuh miskin. Selain itu di segi
peningkatan SDM, dapat dilakukan dengan menutup kekurangan keterampilan akan
memerlukan peningkatkan mutu pendidikan di semua tingkatan, serta memperluas
dan meningkatkan mutu pusat-pusat pelatihan.(DR)
Comments
Post a Comment