Pelayanan PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) dinilai melemah semenjak aktifitasnya dialihkan dari terpusat ke
masing-masing Pemerintah daerah. Pengalihan wewenang pengelolaan PBB ini
bertujuan agar dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dan pelayanan kepada
masyarakat setempat. Sistem pembayaran PBB yang terakhir kali dipegang oleh
Direktorat Pajak Kementerian Keuangan pada akhir 2013, seharusnya semakin
memudahkan masyarakat. Namun, faktanya masyarakat wajib pajak merasa sistem
sekarang lebih rumit. Masyarakat tidak dapat melakukan pembayaran PBB secara
elektronik seperti sediakala melalui ATM, internet
banking, sms banking , phone banking, dan teller di sejumlah bank nasional. Masyarakat wajib pajak harus berkorban
lebih banyak waktu untuk antre di loket, tenaga serta biaya agar dapat memenuhi
penyetoran PBB ke akses yang ditunjuk daerah setempat.
Kendala masyarakat dalam
menghadapi sistem baru pengelolaan PBB ini yaitu tidak dapat melakukan transaksi
melalui ATM, karena tidak semua cabang bank daerah menerima pembayaran PBB,
hanya bank tertentu saja. Jika transaksi dilakukan melalui transfer dari bank
lain, wajib pajak harus mendatangi bank daerah terlebih dahulu untuk mendapat
cap legalisir, dan harus langsung datang ke bank atau loket perwakilan dengan
transaksi tunai. Waktu pembayaran PBB
juga dikeluhkan masyarakat yang hanya bisa dilakukan di hari kerja saja.
Kondisi pelayanan yang berantakan dianggap karena keterbatasan sumber daya
serta penguasaan teknologi yang belum dipahami para petugas pelayanan PBB di
masing-masing daerah.
Perubahan pengelolaan PBB belum diketahui
informasinya secara merata. Hal ini diakui Ayu, salah seorang warga Tangerang
Selatan yang tidak tahu bahwa pembayaran PBB sudah dialihkan ke Pemerintah
Daerah. Selain itu, seperti yang diakui oleh Ernawati dan Mochtar, salah
seorang warga Bandung merasa belum menerima informasi baru untuk NJOP (Nilai
Jual Objek Pajak)nya, mereka merasa kaget ketika membayar PBB dengan besar nominal
yang meningkat dari sebelumnya yang harus dibayar.
Lemahnya pelayanan PBB terlihat juga dari
ketidakmerataan penyerahan sistem pengelolaan PBB ke masing-masing daerah.
Tercatat, ada 10 daerah yang belum mengelola PBB sendiri, diantaranya yaitu Kabupaten
Seram (Maluku), Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Mamberamo
Tengah, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten
Tolikara (Papua), Kabupaten Mamasa (Sulawesi Barat), dan Kabupaten Sitaro
(Sulawesi Utara). Sepuluh daerah tersebut dinilai minimnya potensi daerah serta
sumber daya manusianya belum siap.
Solusi untuk mengatasi
permasalahan pendataan PBB di masing-masing daerah, Hartoyo selaku Direktur
Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan program
pelatihan yang diberikan kepada para petugas dalam menangani teknologi
informasi maupun untuk petugas penilai serta pendata. Program tersebut telah
diikuti 18 daerah tahun 2011-2012, 105 daerah di tahun 2013, dan pada tahun
2014 ini ditargetkan untuk 369 daerah yang terbagi dalam 15 angkatan. Disamping itu, untuk mensosialisasikan
pengalihan pelayanan PBB ke daerah, dilakukan juga sosialisasi dan Koordinasi
Pelayanan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) seperti
yang dilakukan oleh Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah. Dalam peningkatan
NJOP juga, diminta para camat dan lurah memberikan penjelasan kepada warganya
bahwa terjadi kenaikan NJOP karena disesuaikan dengan harga pasar, hal ini
seperti yang dijelaskan pada berita Tempo, dimana Pak Jokowi memberikan
keringanan kepada warga yang tidak mampu dalam membayar pajaknya. Harapannya
dengan solusi tersebut,
Sumber :
·
Koran Kompas
edisi Selasa, 19 Agustus 2014 “ Layanan Pungutan PBB Amburadul”. hal : 1
dan 15 (kol 4-7)
·
Koran Kompas
edisi Rabu, 20 Agustus 2014 “Institusi Layanan PBB Lemah ”. hal : 1 dan
15 (kol 5-7)
·
http://www.tempo.co/read/news/2014/04/10/231569680/Jokowi-Minta-Camat-Lurah-Jelaskan-Kenaikan-PBB
Comments
Post a Comment